Powered By Blogger

Jumat, 15 Februari 2013

Wanita Jepang dari Zaman Dahulu Hingga Sekarang

Wanita Jepang dari Zaman Dahulu Hingga Sekarang
Kehidupan wanita disetiap negara pastilah memiliki perbedaan. Masing-masing negara memiliki cirikhas tersendiri. Perbedaan disetiap negara itu bisa berupa kehidupan sosial, karir, dan sebagainya. Perbedaan itu sendiri sewaktu-waktu juga bisa berubah maupun berkembang disetiap negara. Hal ini juga tidak terlepas dari faktor-faktor budaya dan kehidupan masayarakat yang ada pada saat itu.
Begitu juga halnya dengan Jepang. Jepang juga memiliki cirikhas tersendiri terhadap kehidupan sosial wanitanya. Kehidupan sosial ini terus berkembang dan mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Pada makalah inilah saya akan coba membahas kehidupan wanita Jepang dari Zaman dahulu hingga zaman sekarang ini.
A.    Wanita Jepang Zaman Heian (794-1192)
Pada zaman Heian, kehidupan dalam istana kerajaan Jepang saat itu sungguh tak menguntungkan bagi kaum wanita. Seperti di banyak kerajaan lainnya, para wanita keluarga raja sangat dijaga. Hidup para wanita penuh aturan dan batasan. Dunia di luar istana nyaris tak mereka kenali. Para wanita hanya boleh keluar ketika ada acara pesta rakyat. Pendidikan yang mereka ketahui pun terbatas. Hanya sedikit di antara mereka yang bisa membaca dan menulis. Dalam suasana seperti inilah lahir novelis wanita pertama dunia, Shikibu Murasaki. Dialah penulis Genji Monogatari (Kisah Genji), karya novel pertama dalam sejarah.
Pada zaman ini, perempuan kerajaan menggunakan pakaian formal yang disebut Jyunihitoe (kimono berlapis 12). Kostum dipilih berdasarkan jabatan dan musim. Kimono perempuan menggunakan sistem kombinasi warna yang melambangkan bunga dan tanaman yang spesifik yang ada di suatu musim atau bulan, contohnya irome dan kasane no irome. Pada umumnya, perempuan yang belum menikah mengenakan hakama warna gelap. Sementara, perempuan yang sudah menikah mengenakan hakama dengan warna-warna cerah, umumnya merah.

B.    Wanita Jepang Zaman Meiji (1868-1912)
Pada zaman Meiji, Amerika memaksa masuk, disusul oleh orang-orang asing lainnya. Pada saat itu kehidupan Jepang mulai dipengaruhi kehidupan ala barat, dan masyarakat Jepang asli mulai mengikis gaya hidup ke-timurannya. Bagi yang wanita, rambutnya mulai dikeritingkan, kimono-nya mulai dilepas, berganti dengan gaun-gaun besar. Begitu juga dengan pria, rambutnya mulai diwarnai cokelat, dibelah pinggir, dan memakai jas kemana-mana. Jepang yang dari Xenophobia (takut orang asing) berubah menjadi Xenophilia (menyenangi budaya asing).
Jepang sebagai negara didikan konfusius yang terkuat pada masa itu mempunyai cara agar barat tidak menguasai kehidupan masyarakat mereka sepenuhnya. Mereka melihat tetangga mereka (Cina), sudah jatuh dalam pelukan barat sepenuhnya. Karena itu, agar masyarakatnya tetap memegang adat Jepang yang kuat, pemerintah jepang membuat undang-undang khusus yang disebut “Undang-Undang Minpo”.
Pada undang-undang Minpo, undang-undang itu juga mengatur nasib wanita Jepang, serta pengaruh era Shogun Tokugawa sebelumnya yang masih kental dengan diskriminasi gender.
Adapun isi dari undang-undang Minpo yang mengatur tentang wanita saat itu, yaitu :
a.      Wanita dalam Keluarganya (sistem ie)
1)      Sebagai wanita, mustahil untuk mendapat warisan, apalagi kalau masih ada anak laki-laki di keluarga itu.
2)      Tidak diperkenankan memilih jodohnya sendiri, karena riwayat cintanya ditentukan oleh Kepala Keluarga. Pernikahannya pun semata-mata hanya demi kepentingan dua keluarga yang menikahkan. Bisa dikatan sebuah bisnis bagi keluarga.
3)      Tidak  boleh berpendapat, apalagi membantah kepala keluarga.
4)      Satu-satunya pendidikan yang didapat wanita jepang adalah Kasei (sekolah manajemen keuangan rumah tangga).

b.      Wanita dalam Pernikahannya
1)     1)  "Oyome ni nareba, tanin no hajimari" yang artinya, ketika seorang wanita menjadi istri orang lain, dia akan menjadi orang asing bagi keluarganya sendiri. Misalnya, ada wanita bernama Kaneko yang marganya Tanaka, dia akan menikah dengan keluarga Murasaki, maka namanya berubah menjadi Kaneko Murasaki. Sejak namanya berubah itu, si wanita tidak boleh curhat soal masalah keluarganya pada orangtuanya di keluarga Tanaka, bahkan tidak boleh lagi masuk ke rumah keluarga Tanaka dengan mengucapkan "tadaima" (aku pulang). Eksistensi wanita itu sudah dianggap hilang oleh keluarga Tanaka.
2)   2) Dalam sistem ie (sistem kekeluargaan jepang tradisional), oyome atau menantu, adalah orang dengan kedudukan paling rendah. Dia harus bangun paling pagi, bekerja paling keras, makan paling belakangan, dan tidur paling malam.
3)   3) Ketika si wanita ini hanya bisa melahirkan anak cewek, sang suami berhak mengambil selir sampai dia punya anak laki-laki sebagai ahli waris. Ironisnya, anak laki-laki dari selir lebih tinggi kedudukannya dibandingkan anak perempuan dari istri sah.
4)   4) Kalau si wanita ini sakit, suaminya dapat dengan mudah menceraikan dia. Bahkan, kalau si wanita mandul, ketahuan selingkuh, dan sebagainya. Pada saat ini, perceraiannya hal yang mudah.
5)  5) Sebaliknya, kalau si pihak wanita tidak bahagia karena suaminya selingkuh, dia harus bisa membuktikan perselingkuhan itu di hadapan pengadilan Jepang. Prosesnya rumit dan berbelit-belit. Dalam hal ini cerai bukan perkara yang mudah.
6)  6)  Misalnya si wanita adalah ahli waris dari keluarga asalnya, seluruh hartanya akan dikontrol oleh sang suami. Wanita tidak mendapatkan sepeserpun dari hartanya.

c.       Kehidupan Setelah Cerai
1)     1) Ketika diceraikan, sang wanita TIDAK diperkenankan untuk kembali ke keluarga lamanya. Dalam kasus ini, contoh si Kaneko Murasaki, tidak boleh kembali ke keluarga Tanaka, dan tidak boleh lagi memakai marga Murasaki.
2)     2) Tidak boleh membawa anaknya keluar dari rumah suaminya. Jadi si Kaneko ini harus pergi sendirian.
3)      Semua harta ditinggalkan di rumah suaminya.

Jadi bisa dikatakan, kemungkinan si wanita ini mendapat jodoh lagi sangat sulit. Apalagi jodoh hanya bisa didapatkan melalui perantara kepala keluarga. Jadi, kebanyakan para wanita ini hidup dengan menjadi pelacur, atau kalau cantik bisa direkrut menjadi geisha.

Pada kehidupan Jepang yang masih berada di zaman tradisonal ini, umumnya wanita pada waktu kecil patuh pada ayahnya. Kemudian pada waktu dewasa, wanita patuh pada suaminya. Saat menua dan renta, wanita harus patuh pada anak sulungnya. Tugas wanita seumur hidupnya hanyalah kaji (rumah tangga), ikuji (mengurus anak) dan kaigo (mengurus orang tua). Satu-satunya pihak yang harus menjaga kehormatannya pada masa itu hanyalah wanita. Wanita baru dianggap berhasil ketika dia menjadi ryousaikenbo (Ibu yang baik dan bijaksana), yang dengan kata lain, ibu yang berhasil bertahan dari penderitaan batin dan kelakuan buruk suaminya dan mertuanya. Menurut falsafah Meiji, wanita hanyalah alat untuk kebangkitan negara.


C.    Wanita Jepang Zaman Showa (1926 – 1989)
Pada tahun 1947, dituliskan dalam Undang - Undang yang melindungi martabat individu dan kesamaan gender diantara pria dan wanita, maka “sistem Ie”  di hapuskan dan juga ketidaksamaan antara suami - isteri dihapuskan. Undang-undang yang merendahkan martabat wanita pun secara drastis berubah.

Kira – kira sampai tahun 50 showa ( 1975 ), sebagian besar wanita Jepang tidak memiliki pikiran untuk menikah. Hal itu menyebabkan pandangan mengenai perkawinan adalah kebahagian wanita mulai runtuh. Tahun 55 showa ( 1980 ) setelah diadakan penelitian, banyak wanita yang menjawab tentang harapan perkawinan yaitu perkawinan akan memberikan ketenangan bathin.

 Meningkatnya perkawinan pada tahun ini menurut Martha ( 1995 : 4 ) adalah meningkatnya pendidikan, kemajuan dalam pekerjaan, sifat bebas dan mandiri serta kemajuan ilmu kedokteran.


D. Wanita Jepang Zaman Sekarang
            Seiring berjalannya waktu, saat perekonomian Jepang mengalami apa yang mereka sebut dengan bubble economy, banyaknya tersedia pekerjaan bagi wanita. Angkatan kerja wanita ini berharap lebih berperan di tempat kerjanya dari pada dirumah. Tahun 1985 parlemen Jepang mengeluarkan UU yang menjamin kesamaan gender di lapangan kerja. Walaupun dibandingkan 10 tahun yang lalu sudah semakin banyak wanita yang bekerja penuh. Dari masa ke masa grafik pekerja wanita (usia menikah 27 tahun) Jepang yang keluar dari lapangan kerja terus meningkat. Kemudian di usia 40 tahun keatas grafik wanita memasuki lapangan kerja mulai meninggi lagi. Hal ini dikaitkan dengan adanya kelahiran dan masa membesarkan anak –anak oleh ibu-ibu Jepang.

 Tenaga Kerja dan Kesejehteraan Jepang, dari wanita karir yang menikah, setelah melahirkan anak ternyata hanya 30% yang kembali bekerja karena tidak mampu menyeimbangkan antara pekerjaan dan rumah tangga. Bagi Jepang ini adalah hal yang mengkuatirkan dan Jepang terdesak dalam 2 pilihan yaitu apakah tetap memperjuangkan kesamaan gender atau sama sekali melupakannya. Kenyataan harus memilih pekerjaan atau anak bagi kaum wanita di Jepang telah menciptakan semacam mimpi buruk demografis.

Tahun fiskal 2003 mencatat jumlah seluruh angkatan kerja wanita di Jepang sebanyak 25.5 juta yang 41.4% (9.3 juta) adalah pekerja wanita paruh waktu, bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu. Dan dari seluruh total lapangan kerja paruh waktu, 77.4 persen diduduki oleh tenaga kerja wanita (Japan A Pocket Guide 2004, Foreign Press Centre Japan).

Munculnya paham feminisme juga menyebabkan banyak wanita Jepang yang semakin berkurang keinginnya untuk menikah, karena tidak mau terikat tradisi dengan menjadi ibu rumah tangga dan prosedur pernikahan yang merepotkan serta memakan banyak biaya. Seorang penulis Jepang, Sumiko Iwao dalam bukunya yang berjudul "Japanese Women: Traditional Image and Changing Reality" menjelaskan beberapa penyebab berkurangnya jumlah pasangan yang menikah di Jepang yaitu kemajuan di bidang ekonomi sehingga para wanita mampu hidup mandiri secara finansial meskipun tidak bersuami.

Dari beberapa alasan itu terlihat bahwa perkembangan ekonomi telah mejadi alasan utama bagi wanita Jepang untuk menunda pernikahannya. Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa kemajuan dalam bidang ekonomi di Jepang memiliki peranan besar dalam perubahan pola pikir masyarakat Jepang terhadap pernikahan, khususnya bagi wanita Jepang modern.

Menurut Sumiko Iwao, bagi wanita yang berorientasi pada karir, perkawinan dianggap penghalang untuk mencapai tujuan profesional mereka. Pernikahan bagi wanita Jepang modern telah menjadi beban karena harus mengorbankan keinginan pribadi mereka masing-masing untuk kepentingan keluarga. Untuk bisa mempertahankan gaya hidup mereka, para wanita Jepang modern rela hidup dengan tetap melajang dan menikmati kebebasannya.

Dibanding yang pria, wanita Jepang setelah lulus SMU lebih banyak yang melanjutkan ketingkat pendidikan yang lebih tinggi ke kolese junior dan perguruan tinggi, 48.8%. Kebebasan memilih bagi wanita Jepang adalah, profesionalisme. Saat seorang wanita memilih menjadi ibu rumah tangga, bekerja sebagai pendidik bagi putra-putrinya tidak dirasakan sebagai  kekangan, melainkan bersifat utama, strategis dan justru seharusnya dilakukan. Peran wanita seperti itu tidak dianggap rendah atau remeh, tetapi sebaliknya justru mulia. Peran ganda sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita pekerja, dianggap sebagai chuto hanpa (peran tanggung), tidak populer di Jepang. Bagi orang Jepang, setelah menikah hanya ada 2 pilihan, yaitu  menjadi ibu rumah tangga atau tidak sama sekali. Hak dan kewajiban masing-masing dilindungi oleh undang-undang. Sarana dan prasarana yang diberikan oleh pemerintah sama-sama besar dan mendukung kesuksesan masing-masing karir yang diemban. Bagi wanita pekerja Jepang (wanita tidak menikah/menikah tidak melahirkan anak), bisa mencapai jabatan yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu.
Dari berbagai sumber







Tidak ada komentar:

Posting Komentar