Powered By Blogger

Selasa, 05 April 2011

SEJARAH KERATON YOGYAKRTA

KRATON Yogyakarta dibangun tahun 1756 Masehi atau tahun Jawa 1682 oleh Pangeran Mangkubumi Sukowati yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Letak geografis keraon terbentang antara Tugu sebagai batas utara dan Panggung Krapyak di batas selatan, Sungai Code di sebelah timur dan Sungai Winongo sebelah barat. Keraton apabila ditarik garis lurus ke utara akan bertemu di Gunung Merapi dan akan bertemu Laut Selatan bila ditarik garis lurus ke selatan, Kraton dalam pikiran masyarakat Jawa, diartikan sebagai pusat dunia yang digambarkan sebagai pusat jagad.

Asal nama keraton sendiri berasal dari kata Karaton, Keraton atau Kraton,jika di eja menjadi ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal ratu/raja. Sedangkan, seluruh struktur dan bangunan wilayah Kraton mengandung arti berkaitan dengan pandangan hidup Jawa yang essensial, yakni Sangkan Paraning Dumadi yang berarti dari mana asalnya manusia dan kemana akhirnya manusia setelah mati.
Keraton pertamakali ditempati oleh , Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Sri Sultan Hemengku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdulrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah, sebelum menempati Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I tinggal di Ambar Ketawang Gamping, Sleman. Lima kilometer di sebelah barat Kraton Yogyakarta. Dari Ambar Ketawang Ngarso Dalem menentukan ibukota Kerajaan Mataram di Desa Pacetokan. Sebuah wilayah yang diapit dua sungai yaitu sungai Winongo dan Code. Lokasi ini berada dalam satu garis imajiner Laut Selatan, Krapyak, Kraton,dan Gunung Merapi.
Bangunan Kraton Yogyakarta sedikitnya terdiri tujuh bangsal. Masing-masing bangsal dibatasi dengan regol atau pintu masuk. Keenam regol adalah Regol Brojonolo, Sri Manganti, Danapratopo, Kemagangan, Gadungmlati, dan Kemandungan.
Kraton diapit dua alun-alun yaitu Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Masing-masing alun-alun berukurang kurang lebih 100x100 meter. Di alun-alun utara yang biasa di sebut ( altar) terdapat dua buah pohon beringin yang berada tepat sebelah utara keraton,dan terbentang jalan kecil yang membelah dua pohon beringin sampai jalan depan keraton. Dalam setiap keraton di Jawa, khususnya keraton-keraton setelah masuknya agama Islam, dapat dikatakan bahwa semuanya memiliki bagian/tempat yang disebut alun-alun. Alun-alun adalah bagian dari keraton yang merupakan tempat terbuka dan luas yang umumnya terletak di depan keraton. Alun-alun, sebagai tempat yang luas dan terbuka digunakan untuk berbagai keperluan seperti latihan ketangkasan dan ketahanan mental bagi prajurit, upacara-upacara kebesaran keraton seperti sekaten, tempat acara untuk hiburan rakyat, dan tempat mengumpulnya rakyat untuk menghadap raja/sultan.

Sedangkan alun-alun selatan atau dikenal dengan sebutan alkid (alun-alun kidul ) merupakan bagian dari wilayah Keraton Yogyakarta yang berupa tanah lapang/lapangan luas yang terletak di sebelah selatan keraton (masih dalam jeron 'dalam' benteng). Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi 'belakang'. Hal tersebut sesuai dengan keletakan Alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton. Terletak di sebelah selatan Gedung Agung yang tersambung langsung ke bangunan keraton. Di alun-alun selatan ini ada dua buah pohan beringin yang mempunyai mitos yang sudah melekat di masyarakat yaitu hanya orang yang berhati bersihlah yang bisa lewat di antara pohon beringin tersebut dan barang siapa berhasil lewat diantara dua pohon beringin tersebut keinginan nya akan cepat terkabulkan.

Secara keseluruhan Kraton Yogyakarta berdiri di atas tanah 1,5 km persegi. Bangunan inti kraton dibentengi dengan tembok ganda setinggi 3,5 meter berbentuk bujur sangkar (1.000 x 1.000 meter). Sehingga untuk memasukinya harus melewati pintu gerbang yang disebut plengkung. Ada lima pintu gerbang yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan yang terletak di sebelah Timur Laut kraton, Plengkung Jogosuro atau Plengkung Ngasem yang terletak di sebelah Barat Daya, Plengkung Joyoboyo atau Plengkung Tamansari yang terletak di sebelah Barat, Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading terletak di sebelah Selatan, dan Plengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah Timur.Dalam benteng, khususnya yang berada di sebelah selatan dilengkapi jalan kecil yang berfungsi untuk mobilisasi prajurit dan persenjataan. Keempat sudut benteng dibuat bastion yang dilengkapi dengan lubang kecil yang berfungsi untuk mengintai musuh.

Penjagaan benteng diserahkan pada prajurit kraton. Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibentuk pada masa pemerintahan Hamengkubuwono I sekitar abad 17. Tepatnya pada tahun 1755 Masehi. Prajurit yang terdiri atas pasukan-pasukan infanteri dan kavaleri tersebut sudah mempergunakan senjata-senjata api yang berupa bedil dan meriam. Selama kurang lebih setengah abad pasukan Ngayogyakarta terkenal cukup kuat, ini terbukti ketika Hamengkubuwono II mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan dari pasukan Inggris dibawah pimpinan Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812. Di dalam Babad diceritakan bahwa perlawanan dari pihak Hamengkubuwono II hebat sekali. Namun semenjak masa Pemerintahan Hamengkubuwono III kompeni Inggris berhasil membubarkan angkatan perang Kasultanan Yogykarta. Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono III dan Raffles, dituliskan bahwa Kesultanan Yogyakarta tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Dibawah pengawasan Pemerintahan Kompeni Inggris, keraton hanya boleh memiliki kesatuan-kesatuan bersenjata yang lemah dengan pembatasan jumlah personil. Sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melakukan gerakan militer. Maka sejak itu fungsi kesatuan-kesatuan bersenjata sebatas sebagai pengawal sultan dan penjaga keraton.

Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda kembali berkuasa pasukan-pasukan bersenjata yang sudah lemah tersebut makin dikurangi sehingga tidak mempunyai arti secara militer. Menurut catatan yang ada, semasa pemerintahan Hamengkubuwono VII sampai dengan masa pemerintahan Hamengkubuwono VIII yaitu antara tahun 1877 sampai dengan 1939 ada 13 kesatuan prajurit kraton yang meliputi: Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo, Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero, Langenastro, Surokarso dan Bugis.

Pada tahun 1942 semua kesatuan bersenjata keraton Yogyakarta dibubarkan oleh pemerintahan Jepang. Tetapi mulai tahun 1970 kegiatan para prajurit keraton dihidupkan kembali. Dari ke tiga belas prajurit yang pernah ada baru sepuluh kesatuan atau bergada yang direkonstruksi dengan beberapa perubahan, baik dari pakaiannya, senjatanya maupun jumlah personil. Kesepuluh kesatuan prajurit tersebut yaitu: Prajurit Wirobrojo, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Mantrijero, Prajurit Prawirotomo, Prajurit Ketanggung, Prajurit Nyutro, Prajurit Surokarso dan Prajurit Bugis. Dewasa ini, kesepuluh kesatuan prajurit tersebut masih dapat dilihat oleh masyarakat umum paling tidak se tahun tiga kali, yaitu pada upacara Garebeg Mulud, Garebeg Besar dan Garebeg Syawal, di alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sedangkan sistem pemerinahan Keraton Ngayogyakarta berbentuk kerajaan ( sebelum bergabung dengan republik indonesia ) yang dipimpin oleh seorang sultan yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono. Berikut ini adalah nama sultan yang memerintah di keraton kasultanan ngayogyakarta dari sultan yang pertama (Sri Sultan Hamengku Buwono I) sampai sekarang (Sri Sultan Hamengku Buwono X ) :

Masa pemerintahan Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono I (GRM Sujono) memerintah tahun 1755-1792


Sri Sultan Hamengku Buwono II (GRM Sundoro) memerintah tahun 1792-1812

Sri Sultan Hamengku Buwono III (GRM Surojo) memimpin tahun 1812-1814

Sri Sultan Hamengku Buwono IV (GRM Ibnu Djarot) memerintah tahun 1814-1823

Sri Sultan Hamengku Buwono V (GRM Gathot Menol) memerintah tahun 1823-1855

Sri Sultan Hamengku Buwono VI (GRM Mustojo) memerintah tahun 1855-1877

Sri Sultan Hamengku Buwono VII (GRM Murtedjo) memerintah tahun 1877-1921

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (GRM Sudjadi) memerintah tahun 1921-1939

Sri Sultan Hamengku Buwono IX (GRM Dorojatun) memimpin tahun 1940-1988

Sri Sultan Hamengku Buwono X (GRM Hardjuno Darpito) memimpin tahun 1989 - sekarang